Minggu, 04 Desember 2016

Analisis Material Konstruksi: Labtek Kembar ITB

Labtek kembar adalah sebutan untuk 4 gedung yang serupa di ITB. Labtek V, Labtek VI, Labtek VII, dan Labtek VIII. Keempat gedung tersebut cukup menarik perhatian mahasiswa, terbukti dengan seringnya keempat gedung tersebut menjadi background foto banyak orang. Gedung-gedung ini juga sudah seperti icon dari ITB sendiri. 

Saya mencoba menganalisa material-material penyusun keempat gedung tersebut (dimana konstruksi keempat gedung tersebut serupa). 

Saya, di jembatan antara labtek V dan labtek VI
Di belakang saya terlihat labtek VII dan labtek VIII

Labtek V dan Labtek VI

Dilihat dari bangunannya, menurut saya gedung ini tersusun dari  60% beton bertulang, 25% bata, dan 15% baja ringan.
Berikut saya paparkan mengenai cara pembuatan dari material-material tersebut, yaitu bata dan baja ringan.

1. Baja Ringan

Secara umum cuma dikenal pembentukan baja dengan metode hot rolled atau diistilahkan canai panas.  Di dalam proses ini biasanya balok baja dipanaskan dalam suhu tinggi kemudian melalui serangkaian rol baja akan dibentuk menjadi sesuai keinginan, misalnya baja profil IWF, H-Beam, dll.

Untuk baja tipis atau baja ringan, proses yang dikenakan dikenal dengan pembentukan dingin atau Cold Forming dan hasilnya biasa dikenal dengan Cold Formed Section. Dalam pembentukan ini pelat baja dalam konsdisi suhu kamar akan dibentuk. Metode pembentukan yang biasa dilakukan adalah:

A. Press Brake
Proses pembentukan press-brake dilakukan menekuk pelat baja. Pelat baja diletakkan ke dalam alat ini dan ditekuk bagian-bagiannya secara bertahap hingga menjadi bentuk yang diiingkan.  
Kelebihan dari proses ini adalah bentuk profil dapat dibuat sesuai keinginan selama alat atau tooling tersedia. Apalagi dengan alat yang moderen yang terkomputerisasi, mesin press-brake sudah menjadi mesin CNC dengan adanya lengan penahan yang akan bergerak sesuai dengan bentuk yang telah di-masukkan ke dalam program. Mesin baru ini juga telah dilengkapi anti-crowning sehingga bentuk profil yang panjang tidak akan melengkung akibat proses penekukan.
Kekurangan proses ini adalah dalam produktivitas menghasilkan produk dan tidak mampunya membentuk tekukan kecil yang terhalang oleh tekukan lain. Produktivitasnya sangat rendah jika ingin membentuk profil secara masal, karena prosess untuk pembuatan satu bentuk harus diulang-ulang tekukannya. 

2. Roll Forming
Proses roll forming dilakukan dengan melewatkan pelat baja ke dalam serangkaian roll hingga produk yang diinginkan tercapai.  Mesin roll forming yang baru sudah terkomputerisasi sehingga dapat melubangi, dan mencetak label di ujung proses setelah profil terbentuk.
Produktivitas proses roll forming sangatlah tinggi sehingga dalam waktu singkat profil dapat segera terbentuk, itulah kelebihannya. 
Namun kekurangannya adalah satu mesin dengan roll set yang telah disiapkan hanya dapat membuat satu bentuk yang telah ditetapkan sehingga harus memesan mesin baru jika menginginkan bentuk baru meski hanya sekedar menambah tekukan atau lipatan. 

3. Punching
Proses ketiga adalah proses pembentukan dengan menggunakan mesin punch atau mesin pons. Pelat baja disimpan di atas die-set dan kemudian proses punching dengan tekanan tinggi akan melubangi dan membentuk pelat baja tersebut. Proses ini biasa dilakukan pada pembuatan aksesoris atau komponen-komponen kecil dari baja ringan. 
Proses pembentukan suatu aksesoris biasanya akan melibatkan beberapa tahapan proses punching, sehingga untuk mempercepat prosesnya biasanya dibuatkan sistem progressive.  Dengan cara ini proses punching akan berjalan secara berurutan melakukan berbagai tahapan pembentukan dengan die-set yang sudah tersusun secara berurutan juga.

(sumber: http://www.sekilasbajaringan.com/2012/10/metode-pembentukan-baja-ringan.html)

2. Bata
Dalam pembuatan batu bata ada 3 tahap yaitu sebagai berikut : 

Tahap penghalusan :
Tanah merah dimasukan ke dalam wadah yang telah disediakan, sebelum dimasukan wadah tersebut diisi  dengan air, selanjutnya tanah dimasukan dan diinjak-injak sampai halus.

Tahap percetakan :
Tanah Merah yang sudah dihaluskan sehingga membentuk tanah liat, setelah itu dimasukan kedalam tempat pencetakan (Forong) yang berukuran panjang 10cm dan Lebar 7cm. Setelah dimasukan kedalam cetakan dan di padatkan dengan cara menakan dengan menggunakan tangan, rapikan permukaan corong menggunakan bambu, setelah itu dibagi menjagi tiga bagian dengan cara dipotong dengan menggunakan  benang boflang. Berikut gambar proses pemasukan tanah liat dan proses perapian permukaan corong.
Selanjutnya keluarkan dari cetakan ke tempat yang telah disediakan. Selanjutnya dikeringkan dengan cara menyusun batu bata yang diberi sedikit jarak agar angin dapat masuk. pada musim panas proses pengeringan bisa memakan waktu ± 1 sampai 2 bulan, proses pengeringan juga bergantung dari cuaca. Pengeringan dilakukan dengan cara menyusun bata dengan diberi cela.

Tahap Pembakaran :
Pembakaran batu bata berlangsung di oven yang terbuat dari batu bata yang direkatkan menggunakan tanah liat itu sendiri. Pembakaran menggunakan kayu yang keras seperti : kayu mangga, kenari, linggua dan kayu yang keras lainnya. Proses pembakaran berlangsung selama 2 hari, yaitu 2 siang dan 2 malam. Apabila  tinggi tempat pembakaran kurang dari 4 meter bisa menampung 6000 bata. selanjutnya batu yang telah diuapkan hingga temperatur suhu naik/tinggi, setelah itu didinginkan dan dikeluarkan melewati pintu Oven yang berada di samping.



Jumat, 02 Desember 2016

[Praktikum beton pekan ke -6] Kelompok 3 – Uji Kuat Tekan Beton 28 Hari - Alya Rismayanti

Pada praktikum 6, kami melakukan uji kuat tekan beton usia 28 hari. Sama seperti uji kuat tekan sebelumnya, telah terlebih dahulu dilakukan curing dan capping pada beton silinder. 
Berikut hasil uji kuat tekan beton usia 28 hari dan terlampir data uji kuat tekan beton usia 7 dan 14 hari sebagai perbandingan.





Berdasarkan percobaan yang telah penulis lakukan, diperoleh data kuat tekan beton saat umur 7, 14, dan 28 hari seperti yang tertera pada grafik diatas. Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuatan tekan beton meningkat seiring dengan bertambahnya umur beton. Kekuatan maksimal beton diperoleh saat beton berusia 28 hari.
Dari tabel 5.1 juga diperoleh bahwa kuat tekan beton maksimum yang dapat penulis capai yaitu 169,285 kg/cm2. Hasil tersebut tidak memenuhi kuat tekan beton yang direncanakan yaitu 175 kg/cm2. Dengan begitu diperoleh bahwa penulis hanya mampu memenuhi 96.7% dari kuat tekan beton yang direncanakan.
Tidak tercapainya nilai tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya, kesalahan praktikan dalam melakukan percobaan, agregat kasar yang sebenarnya tidak layak pakai seperti yang sudah tertera pada posting sebelumnya, dan beberapa kesalahan perhitungan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dengan berakhirnya uji kuat tekan beton, maka berakhir pula laporan praktikum ini, yey!
Semoga serangkaian laporan praktikum ini bisa bermanfaat :)




Best regards, Kelompok 3

Alhamdulillah lulus praktikum BBL


[Praktikum baja pekan ke -5] Kelompok 3 – Uji Kuat Tarik Baja - Alya Rismayanti

Pada praktikum ke 5, kami melakukan uji tarik baja. Kelompok saya, kelompok 3 mendapat benda uji berupa baja polos berdiameter 12 mm.

Tujuan:

  • Menentukan hubungan tegangan dan regangan
  • Menentukan tegangan leleh baja
  • Menentukan tegangan tarik baja
  • Menentukan perpanjangan dan pengurangan luas area penampang
  • Menentukan modulus elastis baja
  • Menentukan tegangan runtuh baja
Alat dan Bahan:
Alat:
  • Jangka sorong, untuk mengukur diameter penampang
  • Uji Universal Testing Machine (UTM), berfungsi untuk memberi dan mengontrol laju pembebanan
  • LVDT, untuk mencatat defleksi/perpanjangan
  • Load Cell, untuk mengubah beban UTM dari analog menjadi digital
  • Data Logger, untuk alat pencatat data dari Load Cell dan LVDT
  • Strain Gauge, untuk mengukur regangan
Benda Uji:
  • Pada praktikum ini benda uji yang akan diuji sebanyak 4 buah untuk masing-masing jenis tulangan. Tiga benda uji yang dites mempunyai luas penampang yang berbeda-beda (diameter tulangan polos 8, 10, 12 dan diameter tulangan ulir 10, 13, 16). Benda uji yang ke-4 adalah baja tulangan polos 8 dan baja tulangan ulir 10 yang dibuat lebih panjang dari ukuran benda uji lainnya. Pada salah satu benda uji tulangan polos dengan diameter 12 dipasang strain gauge yang berfungsi untuk mencatat tegangan dan regangan. Hasil tegangan dan regangan yang diperoleh dari strain gauge ini akan dibandingkan dengan tegangan dan regangan yang diperoleh dengan cara di atas.
Prosedur Percobaan:
a. Persiapkan benda uji
  • Beri nomer/nama setiap benda uji
  • Ukur diameter dan panjang dari masing-masing benda uji
b. Persiapkan alat
  • Cek semua alat yang akan digunakan
  • Lakukan kalibrasi alat
c. Pemasangan benda uji ke mesin UTM (sumbu alat penjepit harus berhimpit dengan sumbu benda       uji) dan pemasangan alat ukur
d. Pelaksanaan pengujian
  • Tarik benda uji dengan pertambahan beban yang konstan sampai benda uji putus.  Catat dan amatilah besarnya perpanjangan yang terjadi setiap penambahan beban.
  • Amati secara visual perilaku benda uji.
  • Setelah putus, ukur diameter penampang pada daerah putus dan ukurlah panjang akhir dari benda uji.

Hasil Percobaan:

Setelah melakukan uji kuat tekan, semua kelompok menyatukan data masing-masing benda ujinya dan dapat dilihat di tabel berikut:


Kami juga mem-plot grafik hubungan tegangan-regangan baja. Berikut kurva tegangan vs regangan baja polos diameter 12 mm


Lalu semua kurva tegangan vs regangan dikelompokkan berdasarkan jenis benda ujinya, yaitu kurva tegangan-regangan baja polos dan kurva tegangan-regangan baja ulir.

 Grafik tegangan-regangan baja polos

Grafik tegangan-regangan baja ulir

Analisis:

Dari kedua grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa kuat tarik maksimum dan kuat luluh baja dipengaruhi oleh diameter dan jenis baja itu sendiri. Dapat dilihat bahwa semakin besar diameter baja, maka semakin besar pula kuat tarik maksimumnya dan kuat luluhnya juga semakin besar. Namun ada beberapa data yang tidak merepresentasikan hubungan tersebut. Hal itu dikarenakan adanya kesalahan pembacaan grafik manual hasil UTM sehingga data yang di plot kurang akurat.
Jenis baja juga berpengaruh pada kuat tarik maksimum baja. Terbukti bahwa baja ulir memiliki kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan dengan baja polos.


Dokumentasi percobaan uji tarik baja

Pengukuran dimensi baja sebelum di tes

grafik beban vs regangan dari mesin UTM



[Praktikum beton pekan ke -4] Kelompok 3 – Uji Kuat Tekan Beton 14 Hari - Alya Rismayanti

Pada praktikum ke 4, kami melakukan uji kuat tekan beton usia 14 hari. Sama seperti uji kuat tekan sebelumnya, kami telah terlebih dahulu melakukan proses curing dan capping pada beton silinder kami. Alat dan prosedur yang kami gunakan dalam uji kuat tekan beton usia 14 hari juga masih sama seperti saat uji kuat tekan beton usia 7 hari, namun kali ini hanya 1 beton silinder saja yang diuji.

Berikut hasil uji kuat tekan beton usia 14 hari dan terlampir juga hasil uji kuat tekan beton usia 7 hari sebagai perbandingan.




[Praktikum beton pekan ke -3] Kelompok 3 – Uji Kuat Tekan Beton 7 Hari - Alya Rismayanti

Pada praktikum ke 3, kami melakukan uji kuat tekan beton usia 7 hari. Namun, sehari sebelum melakukan uji kuat tekan beton, kami melakukan proses curing terlebih dahulu.

Curing

Tujuan:
Membantu berlangsungnya reaksi kimia yang terjadi antara senyawa pembentuk beton

Alat/kondisi:

  • Ruangan lembab dengan kelembaban relatif tidak kurang dari 95%
  • Bak yang diisi air kapur jenuh untuk curing
Prosedur:
Curing yang kami lakukan adalah dengan meletakkan beton silinder ke dalam bak yang berisi air kapur jenih. Beton silinder juga ditutupi kain basah untuk mencegah terjadinya penguapan air yang terlalu banyak.

Setelah melakukan curing, kami melakukan proses capping.

Capping

Tujuan:
Memastikan distribusi beban aksial yang merata ke seluruh bidang tekan silinder

Alat dan Bahan:
  • Belerang
  • Cetakan capping yang memiliki ukuran yang sesuai dengan dimensi spesimen
  • Alat untuk mencairkan belerang yang dilengkapi dengan pemanas api
Prosedur:
  1. Siapkan serbuk belerang atau senyawa capping, pemanas dengan suhu sampai 130°C (265°F), dan termometer logam untuk memeriksa suhu
  2. Lelehkan serbuk belerang atau senyawa capping
  3. Setelah menjadi cair, aduk belerang cair sebelum dituangkan ke dalam cetakan capping
  4. Tuangkan belerang cair kedalam cetakan kemudian letakkan beton silinder dengan kedua tangan di atasnya. Pastikan ujung silinder beton sebelum diletakkan dalam cetakan dalam keadaan kering
  5. Langkah ke-4 harus dilakukan dengan cepat sebelum sulfur cair membeku
  6. Ketebalan capping harus sekitar 3 mm dan tidak melebihi 8 mm
  7. Sebelum dilakukan uji kuat tekan, capping harus didiamkan dahulu agar memiliki kekuatan yang sebanding dengan beton.

Dokumentasi proses capping


Setelah beton di capping, akhirnya beton pun siap untuk diuji kuat tekannya

Uji Kuat Tekan Beton

Alat:
  • Universal testing machine
  • Timbangan

Prosedur:
  1. Letakkan benda uji pada mesin tekan secara sentris
  2. Jalankan mesin uji tekan. Tekanan harus dinaikkan berangsur-angsur dengan kecepatan berkisar antara 4 kg/cm2 sampai dengan 6 kg/cm2 perdetik
  3. Lakukan pembebanan sampai benda uji hancur dan catatlah benda uji beban maksimum hancur yang terjadi selama pemeriksaan benda uji
  4. Ulangi langkah-langkah di atas sesuai dengan jumlah benda uji yang akan ditentukan kekuatan tekan karakteristiknya.


Beton saat di uji tekan

Pada uji kuat tekan beton usia 7 hari, kami menguji 2 buah beton silinder. Hasil uji kuat tekan beton usia 7 hari dapat dilihat pada tabel berikut:




[Praktikum beton pekan ke -2] Kelompok 3 – Perencanaan Campuran Beton - Alya Rismayanti

Pada praktikum ke 2, kami mulai melakukan perhitungan perencanaan campuran beton sekaligus melakukan pengecoran beton sesuai perhitungan yang telah kami lakukan.

Beton yang diminta adalah beton dengan jenis konstruksi dinding dan balok tipe K-175 dengan pengerjaan tanpa penambahan udara dalam kondisi laboratorium yang kurang baik. 

Prosedur Perencanaan Campuran Beton

Tahap 1: Pemilihan angka slump
Jika nilai slump tidak ditentukan dalam spesifikasi, maka nilai slump dapat dipilih dari tabel 4.1. untuk berbagai jenis pengerjaan konstruksi.



Tahap 2: Pemilihan ukuran maksimum agregat kasar
Untuk volume agregat yang sama, penggunaan agregat dengan gradasi yang baik dan dengan ukuran maksimum yang besar akan menghasilkan rongga yang lebih sedikit daripada penggunaan agregat dengan ukuran maksimum agregat yang lebih kecil. Hal ini akan menyebabkan penurunan kebutuhan mortar dalam setiap volume satuan beton.
Dasar pemilihan ukuran maksimum agregat biasanya dikaitkan dengan dimensi struktur. Sebagai contoh, ukuran maksimum agregat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:


Dimana,
D      = ukuran maksimum agregat
d       = lebar terkecil di antara 2 tepi bekisting
h       = tebal pelat lantai
s        = jarak bersih antara tulangan
c       = tebal bersih selimut beton

Tahap 3: Estimasi kebutuhan air pencampur dan kandungan udara
Jumlah air pencampur persatuan volume beton yang dibutuhkan untuk menghasilkan nilai slump tertentu sangat bergantung pada ukuran maksimum agregat, bentuk, serta gradasi agregat dan juga pada jumlah kebutuhan kandungan udara pada campuran.
Jumlah air yang dibutuhkan tersebut tidak banyak berpengaruh oleh jumlah kandungan semen dalam campuran. Tabel berikut memperlihatkan informasi mengenai kebutuhan air pencampur untuk berbagai nilai slump dan ukuran maksimum agregat.




Tahap 4: Pemilihan nilai perbandingan air semen
Untuk rasio air semen yang sama, kuat tekan beton dipengaruhi oleh jenis agregat dan semen yang digunakan. Oleh karena itu, hubungan rasio air semen dan kekuatan beton yang dihasilkan seharusnya dikembangkan berdasarkan material yang sebenarnya yang digunakan dalam pencampuran. Terlepas dari hal di atas, tabel berikut bisa dijadikan pegangan dalam pemilihan nilai perbandingan air semen.


Nilai kuat tekan beton yang digunakan pada tabel diatas adalah nilai kuat tekan beton rata-rata yang dibutuhkan, yaitu:

                                                                    fm = fc’ + 1,64 Sd

dimana,
fm     : nilai kuat tekan beton rata-rata
fc      : nilai kuat tekan karakteristik (yang disyaratkan)
Sd     : standar deviasi (dapat diambil berdasarkan tabel di bawah ini)


Harga rasio air semen tersebut biasanya dibatasi oleh harga maksimum yang diperbolehkan untuk kondisi exposure (lingkungan) tertentu. Sebagai contoh, untuk struktur yang berada di lingkungan laut harga rasio air semen biasanya dibatasi maksimum 0,40 – 0,45.

Tahap 5: Perhitungan kandungan semen
Berat semen yang dibutuhkan adalah sama dengan jumlah berat air pencampur (tahap 3) dibagi dengan rasio air semen (tahap 4).

Tahap 6: Estimasi kandungan agregat kasar
Rancangan campuran beton yang ekonomis bisa didapat dengan menggunakan semaksimal mungkin volume agregat kasar atas dasar berat isi kering (dry rodded unit weight) per satuan volume beton. Data eksperimen menunjukkan bahwa semakin halus pasir dan semakin besar ukuran maksimum partikel agregat kasar, semakin banyak volume agregat kasar yang dapat dicampurkan untuk menghasilkan campuran beton dengan kelecakan yang baik.
Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa pada derajat kelecakan tertentu (slump = 75 – 100 mm), volume agregat kasar yang dibutuhkan per satuan volume beton adalah fungsi daripada ukuran maksimum agregat kasar dan modulus kehalusan agregat halus.
Berdasarkan tabel 4.5, volume agregat kasar (dalam satuan m3) per 1 m3 beton adalah sama dengan fraksi volume yang di dapat dari tabel 4.4. Volume ini kemudian dikonversikan menjadi berat kering agregat kasar dengan mengalikannya dengan berat isi kering dari agregat yang dimaksud (dry rodded unit weight).
Untuk campuran dengan nilai slump selain 75 – 100 mm, volume agregat kasar dapat diperoleh dengan mengoreksi nilai yang ada pada tabel 4.5 dengan angka koreksi yang ada pada tabel 4.6.



Tahap 7: Estimasi kandungan agregat halus
Setelah menyelesaikan tahap 6, semua bahan pembentuk beton yang dibutuhkan telah diestimasi kecuali agregat halus. Jumlah pasir yang dibutuhkan dapat dihitung dengan dua cara, yaitu:
  1. Cara perhitungan berat (weight method)
  2. Cara perhitungan volume absolut (absolut volume method)
Volume agg. halus = 1- vol. udara - vol. air - vol. agg. kasar - vol. semen
Massa aggregat halus = volume agregat halus x specific gravity kondisi SSD 

Tahap 8: Koreksi kandungan air pada agregat
Pada umumnya, stok agregat di lapangan berada dalam kondisi basah (kondisi lapangan) tetapi tidak dalam kondisi jenuh dan kering permukaan (SSD).
Tanpa adanya koreksi kadar air, harga rasio air semen yang diperoleh bisa jadi lebih besar atau bahkan lebih kecil dari harga yang telah ditentukan berdasarkan tahap 4 dan berat SSD agregat (kondisi jenuh dan kering permukaan) menjadi lebih kecil atau lebih besar dari harga estimasi pada tahap 6 dan 7.
Urutan rancangan beton dari tahap 1 sampai tahap 7 dilakukan berdasarkan kondisi agregat yang SSD. Oleh karena itu, untuk trial mix air pencampur yang dibutuhkan dalam campuran bisa diperbesar atau diperkecil tergantung dengan kandungan air bebas pada agregat. Sebaliknya, untuk mengimbangi perubahan air tersebut, jumlah agregat harus diperkecil atau diperbesar.

Tahap 9: Trial Mix
Karena banyaknya asumsi yang digunakan dalam mendapatkan proporsi campuran beton di atas, maka perlu dilakukan trial mix skala kecil di laboratorium. Hal – hal yang perlu diuji dalam trial mix ini:
Nilai Slump
Kelecakan (workability)
Kandungan udara
Kekuatan pada umur – umur tertentu

Setelah melakukan prosedur diatas, didapatlah nilai komposisi untuk masing-masing material campuran beton seperti yang tertera di bawah ini:







Namun dalam pelaksanaan mix design, terdapat perbedaan data antara kelompok 1, 2, dan 3 sehingga data yang penulis gunakan dalam pencampuran mix design di lapangan merupakan rata-rata dari data ketiga kelompok tersebut. Komposisi asli yang digunakan di lapangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No.
Bahan
Jumlah
1
Semen
10,526 kg
2
Air
6,130 kg
3
Agregat kasar kondisi lapangan
26,306 kg
4
Agregat halus kondisi lapangan
30,585 kg

Berikut dokumentasi saat pembuatan beton:

Prosedur Pelaksanaan :
  1. Mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan seperti menyaring agregat halus dan kasar agar siap digunakan.
  2. Timbang bahan-bahan yang diperlukan sesuai dengan jumlah yang telah dihitung.
  3. Oleskan oli pada dindin beisting yang akan digunakan untuk mencetak beton 
  4. Setelah selesai, bahan bahan tersebut akan diaduk dengan mesin molen. bahan yang dimasukkan pertama adalah agregat kasar, agregat halus, dan semen. setelah diaduk beberapa lama, masukkan air dan aduk hingga rata.
  5. Setelah campuran beton segar rata lakukan uji slump untuk menentukan apakah betton tersebut sesuai dengan standar atau tidak.
  6. Jika sesuai standar beton segar dimasukkan kedalam bekisting sambil padatkan dengan cara digetarkan dengan vibrator.
  7. setelah satu hari, beton dilepaskan dari bekisting dan dimasukkan kedalam bak perawatan.

Pengambilan bahan-bahan yang dibutuhkan (agregat halus, agregat kasar, semen, dan air)


Memasukkan bahan-bahan ke dalam mesin pengaduk


Melakukan slump test terhadap adonan beton


Proses bekisting setelah adonan beton jadi